Pages

Jumat, 12 Juli 2013

Kak Sinta



            Setiap hari kak Sinta memang terlihat semakin cantik. Tidak ada 1 pun jerawat dan tompel diwajahnya. Selain karena uang saku, kak Sinta adalah alasan kuatku untuk masuk sekolah. Ah seandainya saja aku bisa memiliki kak Sinta, makan pun aku sudah tak butuh, ya itung-itung buat emak senang karena berasnya tidak cepat habis.
            Sayang, tahun ini kak Sinta akan lulus dari sekolah ini, aku yakin dia pasti akan melanjutkan kuliah ke luar kota, dan aku disini hanya bisa memeluk bangku dan kursi yang pernah dia duduki saat masih disini. Meskipun begitu aroma parfumnya masih tertempel disini.
            “pagi kak Sinta,” sapaku.
            “pagi juga,”.
 Ah mimpi apa aku semalam kak Sinta akan menjawab sapaanku, padahal tidak banyak murid laki-laki yang direspon oleh kak Sinta. Ah mungkin ini karena wajah imutku dan body atletikku, iya atletik catur.
                                                            ****
            Hari ini adalah hari wisuda sekaligus pelepasan bagi murid kelas 12, termasuk kak Sinta. Aku sangat sedih karena kak Sinta akan meninggalkanku. Kini tiada lagi semangatku untuk bersekolah. Untung saja orang tuaku mau menambah uang jajanku.
            “Bambang, kak Sinta senang bisa kenal sama kamu,” ujar kak Sinta.
            “iya kak, tunggu Bambang 2 tahun lagi ya kak,” jawabku sok imut.
            “iya,”
            “Bambang pasti menunggu sampai kakak lulus kuliah,”
            “iya Bambang sayang,” jawabnya lalu mengecup keningku.
Ah apakah ini mimpi ? tidak Bambang. aku tidak menyangka akan dikecup oleh bidadari.
                                                            ****
            hari terus saja berganti, kini 2 tahun pun telah berlalu. Tak terasa sudah 2 tahun penantianku kepada kak Sinta, tapi apa yang kudapat? Kak Sinta sama sekali tak ada kabar. Ingin sekali aku berteriak sekencang-kencangnya, tapi pasti ibu-ibu di kompleks ku akan menyiramku dengan air bekas cuci piring, sungguh miris nasibku.
            “mbang, sampai kapan loe mau nungguin si Sinta itu?” kata Edo, temanku.
            “sampai malaikat maut menghampiri gue,”
            “ngapain mbang?”
            “beli rokok, yah mau nyabut nyawa gue bego’,”
            Setiap kali aku mengirim sms kepada kak Sinta, sama sekali tidak ada balasan darinya. Aku tahu mungkin dia sibuk dengan tugas kuliahnya. Tapi mengapa aku selalu diabaikan seperti ini, aku merasa sudah tak punya siapa-siapa lagi, bahkan aku pun ragu apakah orang tuaku mengakui aku sebagai anaknya atau bukan.
            Kini aku sudah bekerja. Setiap hari aku selalu berpakaian rapi dengan kemeja dan celana hitamku yang selalu ku setrika ini. Yups aku bekerja sebagai sales LPG. Meskipun begitu aku bangga karena selalu berpakaian rapi dan kedatanganku selalu disambut baik oleh ibu-ibu kompleks.
                                                            ****
 
            “hallo, kak Sinta,”
            “iya hallo Bambang,”
            “akhirnya Bambang bisa mendengar suara kak Sinta lagi meskipun lewat telepon, ternyata ngak sia-sia Bambang shalat tahajud tadi malam kak,”
            “iya Bambang,”
            “kak, Bambang kangen sama kak Sinta,”
            “besok kak Sinta pulang ke surabaya mbang, kamu jemput kakak di bandara yah,”
            “siap kakak sayang, hehehe,”
            Tepat pukul 8 pagi, aku akan menjemput kak Sinta di bandara. Aku pun terpaksa harus mengecewakan para ibu-ibu penggemarku itu demi kak Sinta. Aku segera melaju ke bandara dengan motor vespa warna pink ku itu.
            “ah kak Sinta lama sekali,” batinku dalam hati.
            “Bambang...” teriak seseorang di belakangku.
Ketika kutoleh ke arah suara itu, kulihat ada 2 wanita bersama seorang laki-laki. Aku benar-benar tak mengenali mereka. Tapi ketika salah satu wanita itu mulai mendekat kepadaku, aku mulai sadar bahwa dia adalah kak Sinta. Iya dia kak Sinta, kakak kelas yang dulu paling cantik sesekolah, selain mpok Minah.
            “Bambang kenapa kamu melongo seperti itu?” tanyanya.
            “kamu kak Sinta kan?”
            “iya ini aku Sinta,”
            “kak, kakak sakit apa? Kok perutnya buncit seperti itu,”
            “Bambang, ini bukan sakit tapi kak Sinta lagi hamil,”
            “apaaaaa” teriakku layaknya sebuah sinetron.
            “iya Bambang, kenalin ini suami kakak, namanya Bayu,”
Aku terdiam kaku seperti patung mendengar ucapan kak Sinta. Aku benar-benar tak percaya penantianku akan berujung seperti ini.
            “Bambang, ini kenalin lagi, ini adik ipar kakak, namanya Ayu,”
Oke, untuk yang satu ini aku mau berkenalan dengannya. Ayu memang tidak seayu kak Sinta, tapi senyuman Ayu yang mirip dengan senyuman soimah, membuat hatiku tersetrum dan lambat laun aku pun jatuh hati padanya. Dan kini aku dan kak Sinta pun menjadi saudara karena aku telah menikahi adik iparnya itu.

                                                            *selesai*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar